Raksasa Metropolitan
oleh Nurbella Aprianti
Rizkyna
Raksasa? Metropolitan?
Sejak
kecil, sosok raksasa sering didengar pada cerita atau dongeng yang
diperdengarkan oleh emak sebelum tidur, untuk sekedar ‘nyingsieunan’. Raksasa sering dikatakan sebagai sosok makhluk jahat, badannya tinggi, dan besar, serta memiliki wajah yang seram,
katanya. Tetapi pada kenyataannya, definisi tersebut masih menjadi tanda tanya
besar tentang kemutakhirannya. Belum ada orang yang menyatakan secara pasti tentang
gambaran sosok raksasa yang sebenarnya.
Sosok
raksasa sering hadir pada dongeng-dongeng atau pun cerita anak yang cenderung
selalu menjadi tokoh antagonis dan pastilah anak kecil yang menjadi sasaran. Seperti
pada kutipan puisi ‘Raksasa’ berikut ini,
‘Di dalam mimpiku ada
raksasa
Taringnya sebesar pohon
kelapa
Kepalanya gundul
sekeras baja
Dari Mulutnya menyembur
kata-kata jahat.....’
Sehingga
tak wajar ketika mengucapkan kata raksasa anak-anak sering ketakutan, tanpa
mereka tahu tentang sosok raksasa yang sebenarnya. Hal tersebut tidak aneh,
karena secara tidak sadar mereka sudah dipengaruhi oleh cerita-cerita yang
belum tentu diukur kebenarannya, hingga terekam kuat dalam ingatan anak.
Pada
kenyataannya, memang jika dilihat dari kondisi psikis anak yang berusia 3
sampai 7 tahun bahkan sampai 13 tahun masih rentan terhadap responsible dari
lingkungannya (menurut Krichmer dalam pembagian fase-fase perkembangan individu
manusia), sehingga tak bisa dipungkiri, anak akan mudah terpengaruh terhadap
rangsangan yang baru ia peroleh dari lingkungannya. Mungkin hal inilah yang
menjadi salah satu motif Putu Wijaya dalam menulis puisi yang berjudul
‘Raksasa’.
Berbicara
tentang perkembangan individu manusia secara fisik, dimulai dari dalam rahim sang
ibu bakal individu yang telah ditakdirkan ada itu berkembang menjadi janin,
janin menjadi bayi, bayi lahir kedunia, kemudian berkembangan menjadi anak
kecil, anak usia Sekolah Dasar, remaja dewasa, akhirnya manusia usia lanjut. Dengan
demikian jelas bahwa perkembangan individu itu tidak sekali jadi, melainkan
bertahap berkesinambungan. Nah, di dalam proses perkembangan individu manusia
secara psikis pun bertahap dan berkesinambungan. Untuk mengisi perihal
perkembangan baik secara fisik maupun psikis ini, tentu perlu bimbingan atau
arahan yang sesuai dengan kebutuhannya, sehingga dalam perkembangannya tersebut
tidak terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Bimbingan sangatlah diperlukan oleh
anak dalam masa perkembangannya. Sumber bimbingan bisa hadir dari siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Tetapi yang
diharapkan, bimbingan pertama yang diberikan berasal dari keluarga khususnya
orang tua, karena memang keluarga memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan
individu manusia disamping sumber bimbingan yang berasal dari luar (guru,
teman-teman). Seperti dalam kutipan dibawah ini,
‘Tetapi aku bukan anak
ingusan
Tubuhku masih kecil
tapi hatiku besar
Ibu sudah melatihku
jadi kuat
Dan papaku tak senang
aku bodoh
Guruku di sekolah
selalu bilang
Hati-hati dengan orang
jahat
Mulutnya manis tetapi
akibatnya berat........’
Di
zaman metropolitan ini, teknologi semakin maju dan canggih. Hal ini tidak
menutup kemungkinan dapat mengakibatkan dampak negatif bagi perkembangan
individu, meskipun tidak semuanya berdampak negatif. Maka cara mengantisipasi
hal tersebut perlu adanya penguatan agar individu tidak terjerumus kedalam hal
negatif, salah satunya dengan memasukkan anak ke dunia pendidikan, dengan
harapan dapat menumbuhkan karakter anak sehingga anak tidak terpengaruh oleh
rayuan dan bisikan angin hitam. ‘Buang
buku ayo main di jalanan/Jangan dengar kata orang tua/Ikut ogut berpesta pora’.
Pendidikan
karakter merupakan tujuan atau puncak dari proses pembelajaran. Maka di dalam
menumbuhkan karakter tersebut perlu adanya pembelajaran secara kontinue. Karena
tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan
dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaan. Mungkin hal inilah yang menjadi salah satu pesan moral yang
ingin disampaikan oleh Putu Wijaya.
![]() |
Ruang Belajar |
‘Dalam tidurku muncul
raksasa
Tetapi ia sudah kapok
Sekarang setia menjaga
tidurku
Sambil belajar membaca’
Cara
Putu Wijaya dalam bersajak sangat lihai sekali, hal itu bisa dilihat di dalam
pemilihan kata yang digunakannya. Dalam puisi ‘Raksasa’ ini, PW sangat asik merangkai
majas-majas yang dicantumkan pada beberapa larik, seperti ‘Angka delapan, Sembilan, dan sepuluh/Meloncat melilit raksasa’, sehingga
membuat pembaca penasaran dalam mengulik
makna yang terkandung di dalamnya. selain itu, PW juga sangat pandai dalam
pemakaian rima yang digunakannya, yang menimbulkan efek musikalitas yang indah
ketika membaca puisi karangannya.
Comments
Post a Comment